KM. Serambi_Brangrea – Berbicara adat atau budaya di
Indonesia memang tiada habisnya, Indonesia memang dikenal dimata dunia adalah
Negara yang paling banyak memiliki ragam budaya ataupun adat istiadat.
Khususnya Nusa Tenggara Barat yang memiliki tiga suku yakni Sasak, Samawa, dan
Mbojo atau dikenal dengan Sasambo juga memiliki ragam adat istiadat dan budaya
yang menarik. Pada rangkaian prosesi pernikahan diantaranya, antara suku Sasak,
Samawa, ataupun Mbojo memiliki cara yang berbeda-beda. Di Sumbawa dalam
rangkaian prosesi pernikahan ada prosesi yang dikenal dengan ete kelar yang mungkin tidak dimiliki
oleh daerah lainnya.
Ete kelar (ete=ambil, kelar=selesai) yang bermakna menyelesaikan kewajiban ini dilakukan
oleh calon pengantin perempuan. Kewajiban yang dimaksud adalah pengikraran
syahadat dan shalawat yang biasanya dilakukan mampelai sebelum dilaksanakannya
akad nikah. Namun di Sumbawa Ete Kelar
ini dilakukan terpisah oleh mampelai perempuan dihadapan orang tua/wali,
penghulu, dan dua orang saksi. Dalam prosesi ete kelar yang biasa
dilakukan pada malam sebelum akad atau pagi menjelang akad dilafadzkan Syahadat
dan Shalawat kemudian dilanjutkan dengan permohonan mampelai perempuan kepada
orang tua/walinya dalam posisi berjabat tangan untuk dinikahkan dengan si Fulan
bin Fulan dengan maskahwin sekian dibayar tunai. Orang tua/walinya pun langsung
menjawab “hai anakku, aku akan menikahkanmu dengan si Fulan bin Fulan dengan
maskahwin sekian dibayar tunai.” Demikianlah prosesi Ete Kelar ditutup dengan doa oleh penghulu.
Dilihat sepintas memang tidak ada yang sulit dalam prosesi
ini, namun jika dilaksanakan dengan khidmat maka rasa haru dan isak tangis
antara si anak dengan wali akan menyelimuti. Mengapa tidak, anak yang diasuh
sejak lahir sampai dewasa harus berpindah tanggung jawab kepada orang lain.
Sebagaimana dituturkan Pak Nur saat menikahkan putirnya yang kelima beberapa
hari lalu bahwa prosesi ete kelar ini
adalah saat yang berat dibandingkan dengan saat nikah. Perasaan haru datang
tidak terbendung bahkan suara saya tidak bisa keluar ketika putri saya minta
untuk dinikahkan ungkapnya.
Sebagian orang terkadang tidak mengetahui adanya
tradisi ini walaupun ia sendiri adalah tau samawa. Suhada salah seorang warga
menuturkan bahwa saya ketika menikah tidak melalui prosesi ete kelar ini, mungkin ini tradisi tua nenek moyang kita timpalnya.
Ditegaskan oleh H. Sulaiman penghulu Desa Mapin bahwa tradisi ini memang sudah
ada sejak dulu kala dan dimaksudkan agar pengantin perempuan tidak lagi
melakukan aktifitas disaat pelaksanaan akad nikah, tinggal hanya mampelai pria
yang melakukan tugasnya. Selanjutnya H. Husain salah seorang petua masyarakat
menjelaskan sebenarnya ete kelar
dikhususkan hanya kepada pengantin perempuan yang akan melaksanakan pernikahan
untuk kali kedua/ketiga alias telah menjanda. Hal ini dikarenakan hak untuk
menentukan jodoh bagi perempuan janda diserahkan sepenuhnya kepada perempuan
itu sendiri, berbeda dengan gadis yang masih ada hak orang tua/wali untuk
menentukan jodohnya. Dengan ete kelar
ini ketetapan hati perempuan janda untuk menentukan jodohnya terikrar sehingga
orang tua dengan mantap memberikan wali saat akad nikah. Selanjutnya karena karena dianggap hal ini
adalah yang baik untuk dibiasakan oleh setiap mampelai perempuan sehingga
tradisi ini rata diberlakukan entah itu bagi gadis atau janda di Tana Samawa.
(a_nie)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar